DIFABEL ANAK
DIFABEL ANAK
Negara sudah memiliki UU
35/2014 tentang Perubahan UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 1 ayat 7 anak dengan disabilitas didefinisikan sebagai
berikut :
“Anak yang memiliki keterbatasan fisik, mental,
intelektual atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi
dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat memenui hambatan yang menyulitkan
untuk berpartisipasi penuh dalam kesetaraan dan pemenuhan hak”.
Definisi ini menegaskan bahwa anak difabel yang memiliki 3 (dua) permasalahan yang menghambat dalam partisipasi dalam kesetaraan dan pemenuhan hak, yaitu :
- keterbatasan fisik
- lingkungan yang tidak aksesibel
- sikap negatif masyarakat
Dari definisi tersebut pemenuhan hak harusnya tidak hanya semata-semata anak difabel yang menjadi obyek program rehabilitasi yang selama ini dilakukan oleh pemerintah. Dengan Undang-undang no. 35/2014 dan dikuatkan oleh Undang-Undang No. 8 tahun 2016 persoalan anak harus menjadi persoalan multi sektoral melibatkan lintas issue.
Negara terkesan melakukan pembiaran
dalam beberapa kasus pelanggaran hak anak dengan disabilitas. Gejala kasus yang sering
terjadi terhadap anak dengan disabilitas sebagai akibat kebijakan pemerintah
dan implementasi yang belum maksimal antara lain :
Di tingkat keluarga :
Ditelantarkan
:
Dibuang;
Dipisahkan
dari keluarga;
Disembunyikan;
Dikurung/dipasung;
Tidak
diurusDiperdagangkan;
Dipaksa/disewakan menjadi pengemis;
2.
Dipaksa
menjadi pekerja seks;
4.
Diperkosa;
5. Mengalamikekerasan
disekolah oleh guru dan/atau pengurus lembaga yang menangani anak dengan
disabilitas;
6.
Mendapat
kekerasan seksual;
7.
Diejek (bullying);
8.
Ditolak
masuk sekolah, baik sekolah inklusi maupun sekolah umum;
9. Tidak
memiliki dokumen kependudukan, seperti akte kelahiran, tidak tercantum dalam
Kartu Keluarga, sehingga menyulitkan dikemudian hari untuk memiliki kartu tanda
penduduk (KTP) dan dokumen hukum lainnya. Akibatnya,anak dengan disabilitas
juga terhambat pemenuhan aksesnya atas pelayanan dasar;
10. Dirampas
kebebasan berkomunikasi dan berekspresi. Bentuknya, antara lain, anak dengan
disabilitas pendengaran dipaksa menggunakan bahasa oral di sekolah luar biasa
juga sekolah lainnya, dan guru melarang menggunakan bahasa isyarat. Pemaksaan
ini disertai kekerasan hingga mengakibatkan trauma dan/atau depresi;
11.
Pemaksaan
terapi;
12. Tidak ada
habilitasi dan rehabilitasi, seperti tidak adanya pemeriksaan kesehatan dan
deteksi dini kebutuhan alat bantu disabilitas pada siswa disabilitas di
sekolah;
13.
Labeling
anak dengan disabilitas didalam bidang pendidikan dan kebudayaan;
14. Dijadikan obyek untuk mendapatkan
uang oleh pihak tertentu;
Negara belum sepenuhnya
mengimplementasikan berbagai kebijakan yang melindungikepentingan terbaik bagi
anak dengan disabilitas. Negara juga belum membuat kebijakan khusus untuk
menjamin agak anak penyandang disabilitias dapat menyatakan pendapat dan
berkomunikasi secara bebas atas dasar kesetaraan.
Temuan Kasusu di Sukabumi, Jawa Barat
Komentar