KATAK INGIN KELUAR DARI TEMPURUNGNYA
![]() |
Oleh : Dewey U – Tammy (Perempuan Pekerja Disabilitas PT Adira Finance)
“Bagaikan katak dalam tempurung.”
Secara arti dari peribahasa itu kurang lebih berbunyi
‘Seseorang yang terkurung secara fisik atau pemikirannya. Sehingga menjadi
kurang atau sempit dalam pandangan atau pengetahuannya.’ Peribahasa itu
tampaknya telah menggambarkan diri saya sebagai seorang perempuan dengan
disabilitas yang dahulu belum mendapatkan kesempatan bekerja. Seekor “katak”
menginteprestasikan sosok diri saya yang terlahir disabilitas daksa “Little
People” atau pendek kata tinggi tubuh saya hanya berkisar 137 cm – jauh dibawah
tinggi tubuh orang-orang pada umumnya.
Dan “tempurung” adalah dunia dimana saya menghabiskan waktu
24 jam setiap harinya. Tentu saja rumah. Dengan dinding kanan-kiri. Dan
lingkungan terjauh hanyalah sekitar kompleks rumah. Berinteraksi dengan para
tetangga. Bagi perempuan disabilitas seperti saya, tempurung itu memberikan
secure untuk diri saya. Sehingga merasa aman dan nyaman. Di bawah penjagaan dan
pemeliharaan orang tua beserta orang-orang terdekat. Tapi terkadang tempurung
itu juga menjadi hambatan saya untuk bisa mengeksplor dunia luar, berinteraksi
dengan orang-orang secara luas di luar kompleks rumah. Rutinitas harian yang
kerap saya lakukan hanya seputar melakukan pekerjaan domestik, mengembangkan
bisnis kecil yang sedang saya digeluti tanpa adanya pemasukan tetap kecuali
bergantung dari dana pensiunan PNS ayah,
dan sesekali berinteraksi dengan tetangga.
Saya sering merenung dan berpikir dalam sunyi. Sampai kapan
saya harus seperti ini? Meski hal tersebut merupakan kodrat yang pasti akan
dialami oleh semua perempuan tak terkecuali saya, tetapi rasanya saya butuh
sesuatu yang diharapkan tumbuh dari dalam diri ini. Dapat bekerja dan
menghasilkan uang sendiri adalah impian terbesar saya sejak duduk di bangku
kuliah. Tanpa harus memandang keadaan disabilitas yang saya miliki. Menjadi
perempuan saja, saya merasa terdiskriminasi secara gender. Dengan stigma-stigma
konvensional yang masih dipegang erat oleh masyarakat hingga jaman sudah
secanggih ini.
“Setinggi-tingginya
pendidikan perempuan, paling juga bakal kembali ke dapur, sumur, dan kasur.
Jadi percuma sekolah setinggi-tingginya. Dan buat apa kerja? Toh nanti bakal
ada suami yang menafkahi.”
Itu sungguh membuat saya sedih. Merasa rendah diri meski
sudah pernah mengenyam pendidikan sampai ke tingkat perguruan tinggi. Ditambah
dengan keadaan disabilitas yang tidak tinggi semampai. Saya pernah mencoba
peruntungan dengan menilik beberapa loker berseliweran di jagad maya. Katakan
saja seperti Instagram dan Facebook, maupun website penyedia lowongan kerja. Lantas
saya daftarkan diri sebagai non disabilitas. Di beberapa kualifikasi yang
tertera, disebutkan ada tinggi minimal untuk dapat melamar pekerjaan di
perusahaan tersebut. Dan alhasil saya semakin minder. Sulit percaya “Apakah ada
perusahaan yang mau merekrut karyawan wanita seperti saya?”
Pernah terpikir juga ingin merantau keluar kota seperti
mereka yang terlahir non disabilitas. Hanya saja mobilitas saya juga terbatas.
Saya belum memiliki keberanian untuk mengendarai motor sendiri. Bahkan orang
tua pun juga tidak setuju ketika saya ajukan keinginan ini. Mereka khawatir
dengan keselamatan dan keamanan saya selama bekerja di luar kota. Lelah.
Akhirnya saya kembali ke dalam tempurung. Berjibaku dengan rutinitas tanpa
tujuan jelas, mengubur semangat yang telah lama menggebu. Walaupun demikian,
saya tidak ingin menyerah. Fisik ini boleh saja terkurung, tapi pikiran tidak
boleh terkurung di satu tempat. Saya coba mencari beberapa webinar gratis yang
tersedia di sosial media, berharap mendapatkan sepercik ilmu yang berguna untuk
mengembangkan bisnis dan kualitas diri saya sebagai perempuan.
Jika saja saya mengalami banyak hambatan seperti itu, lantas
bagaimana dengan perempuan disabilitas lain di luar sana yang keadaannya jauh
lebih buruk daripada saya? Banyak diantara mereka memiliki keinginan, impian,
dan harapan besar yang hampir serupa saya. Sementara di lain sisi mereka juga
harus menghadapi begitu banyak batasan di dalam tempurungnya masing-masing.
Barangkali jauh lebih rumit dan memprihatinkan daripada saya.
Saya berpikir ...
Haruskah semua perempuan disabilitas Indonesia tercinta ini
memiliki nasib demikian? Segelintir dari mereka mungkin tertolong lantaran
tinggal bersama keluarga dengan pemikiran terbuka mengenai hak pendidikan dan
akses kerja bagi seorang perempuan, lebih-lebih perempuan disabilitas. Apalagi
tidak memiliki masalah finansial, sehingga dapat memanfaatkan hal itu untuk
meningkatkan kapasitas diri. Tapi
bagaimana dengan perempuan disabilitas yang hidup di bawah garis kemiskinan dan
terkurung oleh stigma masyarakat, yang menganggap bahwa perempuan disabilitas
itu beban dan tidak mampu bekerja?
Bukankah perempuan lebih-lebih perempuan disabilitas,
memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan dan meningkatkan kualitas
hidupnya sebagaimana perempuan non disabilitas dan bahkan laki-laki
disabilitas? Bukankah di dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia pasal 28C
ayat 1 sudah sangat jelas termaktub :
“Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan, dan memperoleh manfaat dari
ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya. Demi meningkatkan kualitas
hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.”
‘Setiap orang’ tidak hanya merujuk pada kaum pria dan
perempuam non disabilitas saja. Namun seluruh orang warga negara Indonesia.
Termasuk orang dengan disabilitas, terlebih dalam hal ini perempuan. Ketika
perempuan disabilitas tidak berpendidikan dan bekerja, mereka hanya bisa
meratapi nasib terkurung bersama hambatannya, dan selalu bergantung dengan
orang-orang di sekitarnya.
Baiklah. Jika perempuan disabilitas tersebut hidup bersama
keluarga yang cukup harmonis. Mendapatkan kasih sayang tulus tanpa batas. Tentu
saja tidak masalah. Hambatannya tidak terlalu kompleks.
Tetapi bisa Anda bayangkan? Jika perempuan disabilitas hidup
di dalam keluarga kurang harmonis dan di masyarakat pun masih harus berhadapan
dengan stigma buruk, cepat atau lambat semuanya akan mempengaruhi kesehatan
mentalnya sebagai manusia dan perempuan. Lebih parah lagi jika sampai menjadi
objek kekerasan dalam rumah tangga dan seksual oleh orang-orang terdekatnya.
Mereka tidak memiliki kekuatan apa pun untuk keluar dari tempurungnya bagaikan
neraka.
Oleh karenanya dibutuhkan peran serta dari pihak-pihak luar,
yang dapat memberikan edukasi tentang pentingnya pemberdayaan bagi perempuan
disabilitas melalui pendekatan yang humanis baik kepada perempuan disabilitas
yang bersangkutan, maupun keluarga terdekat dan masyarakat. Contoh konkret yang
saya rasakan kala itu adalah mendapatkan kesempatan bergabung ke dalam
Komunitas Paguyuban Penyandang Disabilitas (SEHATI). Dengan kesempatan inilah
saya sebagai perempuan disabilitas menyadari betapa pentingnya pemberdayaan
untuk diri-sendiri.
Komentar